“Reformasi
birokrasi pengukuran kualitas kinerja pelayanan publik diharapkan tidak hanya
bertumpu pada sudut pandang atau persepsi pihak penyedia pelayanan saja
(Pemerintah), melainkan juga harus berdasarkan sudut pandang atau persepsi
(masukan dan keinginan) masyarakat, sebagai pihak yang mengkonsumsi dan
menikmati pelayanan”
Bicara soal pajak, selalu menjadi
momok dari banyak kalangan masyarakat terutama para wajib pajak. Dampak dari
fenomena ini disebabkan oleh banyak hal seperti minimnya pemahaman masyarakat
tentang pentingnya pajak, kurangnya transparansi, lemahnya akuntabilitas dalam
penerimaan pajak.
Sejak digulirkan otonomi daerah yang
berimbas pada peralihan sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi,
mengharuskan pemerintah daerah untuk lebih bersikap mandiri dalam meningkatkan
kemampuan pembiayaan pemerintahannya masing-masing, terutama yang bersumber
dari pajak dan retribusi.
Adanya paradigma bahwa penerimaan
pajak daerah banyak dipengaruhi oleh banyaknya komponen pajak daerah dan
retribusi daerah, membuat pemerintah daerah berlomba-lomba menerbitkan pajak
baru yang kadang tidak pro rakyat, hal
ini tentunya berdampak buruk pada iklim usaha maupun kondisifitas ekonomi
masyarakat. Artinya, kebijakan terbitnya peraturan daerah yang mengatur
pengenaan pajak baru untuk mendongkrak pendapatan daerah tidak mutlak efektif
untuk dilakukan, karena lebih baik melakukan optimalisasi dalam mengolah
potensi pajak daerah yang sudah ada.
Munculnya kendala dalam peningkatan
tingkat kepatuhan pajak yang berimbas pada stagnannya penerimaan pajak daerah,
disebabkan lemahnya dalam mengolah potensi pajak daerah, dan lemahnya inovasi
dalam menyusun strategi untuk mempengaruhi phisikis masyarakat yang tidak hanya
menciptakan iklim patuh pajak tapi juga suka pajak bahkan cinta pajak.
Berkaca pada ilmu marketing, strategi
yang dilakukan selalu mengalami evolusi dan bahkan revolusi, tahapan-tahapannya
sebagai berikut:
1. Masa Partisipatif dan Produktifitas
Yakni suatu masa yang
dimulai dengan perkembangan teknologi produk, dimana paradigma ini bertumpu
pada desain produk dan prilaku konsumen serta lingkungan. Pada masa ini hanya
sebatas bentuk produk dan pelayanan marketing yang jangkauannya hanya terbatas.
2. Masa Globalisasi
Yakni terjadinya
transformasi disebabkan perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan global
yang digerakkan oleh teknologi informasi yang memudahkan terjadinya interaksi
dan pertukaran informasi yang mampu menjangkau seluruh dunia.
3. Humanisme Marketing
Era yang praktiknya
dimana marketing dipengaruhi oleh prilaku sikap konsumen yang menginginkan
pendekatan kemanusiaan, kultural, spiritual. Yakni bagaimana berpikir melayani
konsumen dan produk apa yang di inginkan konsumen dengan pendekatan segala
kultur, prilaku dan spiritual yang melekat pada konsumen tersebut.
Artinya bahwa ketiga tahapan yang
berlaku pada ilmu marketing intinya adalah bagaimana membangun ketertarikan
konsumen dengan mempengaruhi psikis konsumen dengan pendekatan kualitas produk,
kemudahan memperoleh produk, kemudahan akses informasi tentang produk yang
seiring dengan perkembangan dan pemanfatan teknologi informasi yang ada, serta
bagaimana mempengaruhi psikis konsumen dengan pendekatan kemanusiaan dengan
segala budaya, prilaku dan spiritual yang melekat padanya.
Jika menarik telaah marketing diatas
dan mengaitkan upaya mempengaruhi psikis masyarakat dalam meningkatkan
realisasi penerimaan disektor pajak daerah, maka pertanyaannya adalah :
1. Sejauhmana pemerintah daerah
mengembangkan komponen pajak yang ada, yang berkualitas produk.
Artinya sejauhmana
stakeholder (pemerintah daerah) meningkatkan partisipasi aktif masyarakat untuk
mau membayar dan sadar pajak bahkan cinta pajak.
Partisipasi aktif disini tidak hanya
mengkampanyekan sanksi hukum atas kelalaian pajak, tapi pajak yang dibayarkan
mampu melahirkan produk seperti pelayanan pajak yang prima dan mudah dijangkau,
mempublikasikan realisasi pembangunan yang ada dilingkungan masyarakat
merupakan hasil dari pajak yang dibayarkan masyarakat.
2. Sejauhmana pemerintah daerah
memanfaatkan teknologi informasi dalam mengolah potensi pajak, baik pendekatan
sistem informasi manajemen (SIM) maupun manajemen sistem informasi (MSI).
Pendekatan ini meliputi
sifatnya internal, yakni aplikasi sistem informasi yang digunakan untuk
membangun pengendalian dalam pengolahan pajak daerah, maupun yang manfaatnya
untuk memberikan informasi penerimaan pajak daerah terhadap struktural yang
terkait. Sifatnya eksternal, adalah pengembagan teknologi sistem informasi
untuk memberikan maupun menyebarluaskan informasi yang diperuntukkan oleh
masyarakat sebagai pembayar pajak, yakni adanya media informasi penerimaan
pajak secara periodik seperti berbasis web
maupun pemanfaatan monitor di titik tertentu. Hal ini penting disamping sebagai
bentuk akuntabilitas dan transparansi juga menumbuh kembangkan kepercayaan
masyarakat tentang pentingnya pajak. Hal lain juga adalah terbangunnya sistem
penagihan yang efektif untuk pencegahan kelalaian yang sifatnya manusiawi
seperti lupa bayar pajak, maka yang efektif dilakukan adalah berbasis short messege service (SMS) kepada wajib
pajak sebelum jatuh tempo, maupun Call Center dengan menghubungi wajib pajak
melalui telepon.
3. Sejauhmana pemungut pajak (pemerintah
daerah), memanusiakan wajib pajak dengan pendekatan kultur, prilaku maupun
spiritual.
Artinya bahwa adanya upaya kualitas pelayanan yang mencerminkan organisasi yang mampu untuk memenuhi
harapan masyarakat. Dimana pelayanan publik merupakan upaya dan kegiatan
pemenuhan kebutuhan dasar dari hak-hak sipil masyarakat dari penyelenggara
negara, dan dalam Reformasi birokrasi pengukuran kualitas kinerja pelayanan
publik diharapkan tidak hanya bertumpu pada sudut pandang atau persepsi pihak
penyedia pelayanan saja (Pemerintah), melainkan juga harus berdasarkan sudut
pandang atau persepsi (masukan dan keinginan) masyarakat, sebagai pihak yang
mengkonsumsi dan menikmati pelayanan. Sehingga keterlibatan masyarakat saat ini
menjadi trend dalam menentukan
kualitas pelayanan/memenuhi harapan masyarakat.